Kamis, 16 Februari 2012

MEMAHAMI KEINGINAN INFOTAINMENT

Bukan kali ini saja hukum infotaiment dipersolakan . Sebelum MUI mengharamkan konten infotaiment . Organisasi besar NU pernah memfatwakan serupa , meski masih ada syarat .Yakni keharamannya pada isi yang disiarkan  infotainment itu. Bila infotainment berupa gosif, kabar yang belum jelas bahkan mengumbar aib orang lain seperti para artis dan selebritis, menurut NU itulah yang diharamkan. Sebaliknya, bila infotainment sekedar memberitakan profil kesuksesan seseorang termasuk artis dan isinya bisa memotivasi pemiarsa, rasanya hal itu tidak termasuk infotainment yang dilarang.
Sedangkan fatwa haram infotainment kali ini lantaran MUI memandang, isi dari infotainment hanya berupa gosif yang mengumbar aib para artis atau selebritis. Misalnya perelingkuhan, carut marut rumah tangga para artis hingga menayangkan bagian adegan pronografi. Sedangkan pelaku infotainment berargumen, di dalam pemberitaan mereka masih ada kebenarannya atau factual dan yang selebihnya rada-rada bohong dianggap kasuistis.
Semangat Bergunjing
Kenyataannya infotainment selama ini selalu mengumbar aib orang lain. Salah satu contoh, putusnya pacaran seseorang lantaran selingkuh, juga keretakan rumah tangga artis lantaran orang ketiga, selalu menjadi bumbu pemberitaan. Uniknya lagi, bila seseorang artis tidak secepatnya memberikan klarifikasi, tanpa ampun, artis bersangkutan dicecar dengan narasi yang menyalahkan. Narasipun dibuat sedemikian panjang lebar meski cuplikan langsung komentar artis bersangkutan hanya beberapa detik.
Narasi-narasi seperti itu akhirnya memancing sang artis lain atau lawan yang dibicarakan berkomentar. Akibatnya, tak jarang di edisi infotainment berikutnya, terjadi bantahan bahkan caci maki antara artis satu dengan artis lain yang nobotabene pasangan hidupnya. Bisa karena perebutan anak, perebutan harta gono-gini bahkan berebut suami dan lain-lain. Adu dombapun berhasil. Bila sudah demikian, pemberitaan infotainment semakin seru dan melebar. Tak jarang, orang tuan artis, anak-anaknya, tetangga dan orang yang terkait objek gunjingan termasuk sopir bahkan bekas pembantu dilibatkan dalam satu efisode infotainment. Mereka diwawancarai sekedar mengomentari
Contoh lagi. Ada seorang artis yang menikah tanpa mengundang wartwan atau terkesan mendadak tanpa diketahui pacarannya. Gosif akan merebak dan diseret pada opini bahwa artis bersangkutan telah hamil di luar nikah. Istilah yang sering muncul dari narasi dipuitiskan itu, “kabarnya”, “Isu yang berkembang di kalangan media”, “dia menutup dari media” atau “tidak bersahabat dengan media” dan istilah lain yang membuat kuping pendengar penasaran dan bertanya-tanya.
Uniknya lagi, jika seorang artis atau selebritis berkoar-koar menceritakan keinginan baik tentang karirinya atau masalah pribadinya seperti soal kekasih dan pernikahan, akan disebut mengumbar janji dan omong kosong. Sementara bila artis sama sekali tidak memberikan keterangan tentang dirinya, akan dianggap arogan dan bungkam seribu bahasa. Bila demikian, apa sebenarnya yang diinginkan oleh para pelaku infotainment itu, menyelesaikan masalah atau memperuwet masalah?
Menyaksikan berita infotainment sebenarnya tak kalah jauh dengan obrolan ibu-ibu/bapak-bapak di teras rumah. Meski tentu saja teknologi dan teknik yang jauh berbeda. Bila gosip para ibu-ibu/bapak-bapak sekitar rumah tangga dan kejelekan tetangga atau kerabat dekatnya, infotainment lebih luas lingkupnya yakni menggunjing orang-orang hebat dan terkenal.
Bedanya lagi, bergunjing model infotainment pelakunya seolah-olah tidak berdosa sedikitpun. Dengan muka mempesona dan gaya bertutur yang teratur, ia membacakan narasi yang dipaksakan. Padahal yang dibicarakan sekitar ranjang artis yang notabene satu perofesi dengannya. Sedangkan ibu-ibu/bapak-bapak di serambi rumah, menggunjing sambil bisik-bisik dan larik-lirik takut ketahuan orang. Dengan demikian, semangatnya sama, menggunjing.
Berlinding di Balik Kebebasan Pers
Satu-satunya dasar pembenaran atas kegiatan infotainment adalah kebebasan pers sehingga produknya ingin diakui sebagai karya jurnalistik yang bebas disiarkan tanpa sensor terlebih dahulu. Sebgai produk jurnalistik –bagi pendukung infotainment—infotainment juga memerankan fungsi-fungsi pers yakni edukasi, informasi dan hiburan.
Di sinilah perdebatan dimulai. Sebab di lain pihak, kerapkali produk infotainment tak sesuai dengan produk jurnalistik yang harus menonjolkan objektifitas, factual dan bebas opini baik dalam penulisan maupun siaran beritanya. Penyiaran karya infotainment seringkali dituding tidak mengedepankan kaidah-kaidah jurnalistik seperti menyebarkan aib, fitnah bahkan tidak menonjolkan fakt-fakta atau tidak cover boat side layaknya karya jurnalistik. Baru kabar saja sudah gencar diberitakan. Sementara salah satu kode etik jurnalistik Indonesia menyebutkan, wartawan Indonesia tidak boleh menyebarkan fitnah, aib serta berita bohong. Maka dari perilaku infotainment seperti itu, sebagian kalangan menyebutkan, produk infotainment bukanlah karya jurnalistik, meski PWI keukeuh memasukkan sebagai karya jurnalistik.
Hemat penulis, bila infotainment ingin dimasukan sebagai karya jurnalistik, syaratnya harus kembali pada kode etik jurnalistik baik dalam proses pencarian berita, mengolah dan menyiarkannya. Karya jurnalistik tidak semata-mata pengakuan lembaga terkait bahwa itu sebuah karya jurnalistik. Tetapi harus pada esesni karya itu sendiri. Bila tidak demikian, khawatir kebebasan pers hanya dijadikan tameng atau didompleng untuk para pegiat infotainment menjalankan aktifitas bisnis dengan mengumbar aib sesama. Naudubillah (*)

BY : ARSETY AMBAR 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar